Happiness in Me

☼ The Bay Bali, Nusa Dua – 15:30 WITA

Mataku tertuju pada sepasang pria dan wanita muda yang sedang berdiri berhadapan dengan berlatarkan pemandangan pantai yang begitu indah. Sang wanita mengenakan gaun yang sangat mempesona, sedangkan sang pria mengenakan setelan jas berwarna hitam. Keduanya baru saja mengikrarkan janji setia untuk selalu hidup bersama baik dalam suka maupun duka, disaksikan oleh para keluarga dan kerabat mereka.

The Bay Bali1

Sang pria kemudian menatap mata sang wanita dengan penuh kelembutan, sedangkan sang wanita membalas tatapan mata sang pria dengan senyuman yang tulus. Dari sorot mata sang pria terlukis rasa sayang tanpa syarat kepada sang wanita, dan dari sorot mata sang wanita terlihat rasa kepercayaan penuh yang ia tujukan kepada sang pria. Setelah itu keduanya pun saling menggenggam tangan dengan erat sebagai pertanda bahwa inilah awal mula dari perjalanan panjang yang akan mereka lalui hingga mereka tua nanti bersama anak-anak dan cucu mereka.

Aku begitu terpana memperhatikan raut kebahagiaan yang terpancar dari kedua pasangan itu hingga tidak memperhatikan pemandangan di sekitarku, dan tiba-tiba saja seorang pria bertubuh jangkung hampir menabrakku. Aku pun buru-buru menyingkir sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Ternyata tempat ini semakin lama semakin ramai saja, sepertinya banyak sekali para tamu undangan datang ke pesta pernikahan ini yang juga ingin ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh kedua pasangan itu.

Yah, sebenarnya diantara begitu banyak tamu yang memadati pesta ini, mungkin hanya akulah satu-satunya tamu tak diundang. Tapi jika aku tidak mengganggu, tidak ada salahnya aku berada di sini, kan? Lagi pula sepertinya tidak ada seorang pun yang menyadari kehadiranku. Wah, tapi sepertinya aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di tepi pantai yang indah ini, jadi memang sudah saatnya aku beranjak pergi dan melanjutkan perjalananku.

☼ Bebek Bengil – 16:15 WITA

Bebek Bengil1

Aku kemudian mulai menyusuri jalan setapak yang di sekitarnya dipenuhi berbagai macam pepohonan rimbun dan bunga-bunga yang harum semerbak. Aku berhenti sejenak untuk mengagumi keindahan bunga-bunga itu dan menarik napas panjang untuk menghirup aroma bunga di sekelilingku. Aku memang sangat menyukai bunga, karena bagiku bunga adalah lambang keindahan yang berfungsi untuk menghiasi bumi ini.

Tapi… sepertinya bukan hanya aku saja yang mengagumi keindahan bunga, karena baru saja seorang gadis cantik melewatiku dengan membawa serangkaian bunga anggrek yang sangat mempesona. Selama melewati jalan setapak, gadis itu tidak henti-hentinya memandangi rangkaian bunga itu dengan senyum penuh keceriaan. Untuk apa rangkain bunga itu? Dengan perasaan ingin tahu aku pun buru-buru mengikuti gadis itu masuk ke dalam sebuah rumah makan.

Pemandangan di dalam rumah makan itu ternyata sangat menarik dengan berlatarkan pohon-pohon rindang yang menyejukkan, dan dari balik pepohonan itu aku bisa menikmati nuansa hamparan laut biru yang luas membentang. Tak heran suasana di dalam rumah makan ini cukup ramai, semua tempat bahkan hampir penuh terisi, yah, siapa sih yang tidak suka menikmati hidangan lezat dengan berlatarkan pemandangan seindah ini?

Bebek Bengil2

Hei, tapi kenapa gadis itu berjalan cepat sekali? Aku pun mempercepat lajuku supaya tidak tertinggal oleh gadis tadi. Tak berapa lama kemudian gadis itu berhenti di salah satu sudut di rumah makan dan sekelompok orang langsung menyambutnya. Dengan senyum ceria gadis itu langsung memberikan rangkaian bunga kepada seorang gadis lain yang juga tidak kalah cantik dari gadis itu. Oh, aku baru tahu sekarang, ternyata rangkaian bunga yang dibawanya tadi adalah hadiah dari gadis itu kepada temannya yang hari ini sedang berulang tahun.

Teman si gadis langsung menerima hadiah darinya dan kemudian memeluk gadis itu dengan erat. Setelah itu suasana pun semakin meriah, teman-teman si gadis yang berulang tahun satu persatu mengucapkan selamat dan juga menyanyikan lagu untuknya. Selama perayaan ulang tahun itu berlangsung, senyum kebahagiaan seakan tidak pernah hilang dari bibir si gadis yang berulang tahun, begitu juga dengan keceriaan yang juga tidak pernah pudar dari wajah teman-teman yang menghadiri perayaan ulang tahunnya hingga membuatku jadi ingin ikut larut ke dalam kegembiraan mereka.

Aku pun mencoba lebih mendekat, tapi… ups! Lagi-lagi seseorang hampir menabrakku, kali ini ternyata seorang pelayan yang melewatiku. Dengan sigap pelayan itu membawakan bermacam-macam masakan lezat untuk dihidangkan kepada si gadis dan teman-temannya. Sepertinya sekarang sudah saatnya mereka menyantap makanan-makanan itu, jadi aku pun mengurungkan niatku untuk mendekati mereka dan kembali melanjutkan perjalananku.

☼ De Opera – 17:00 WITA

De Opera1

De Opera2

Tidak terasa hari hampir menjelang sore ketika aku sampai di suatu tempat yang membuatku merasakan kenyamanan yang luar biasa. Tempat ini begitu teduh hingga membuat hatiku merasa tentram. Beberapa orang tampak sedang duduk-duduk menghabiskan waktu senggang mereka di pinggiran kolam yang terbentang dengan indah, salah satunya adalah sepasang kakek nenek lanjut usia yang langsung saja mencuri perhatianku.

Keduanya terlihat sedang mengobrol dan bercengkrama dengan santai hingga membuatku bertanya-tanya apa kira-kira yang sedang mereka bicarakan? Apakah mereka sedang membicarakan kenangan masa lalu yang telah mereka lalui bersama di sepanjang perjalanan hidup mereka? Apakah mereka sedang membicarakan tentang anak dan cucu mereka yang saat ini sedang beranjak menuju kedewasaan? Ataukah mereka sedang membicarakan seperti apa masa depan yang akan mereka lalui bersama hingga akhir hayat mereka nanti?

Namun apapun itu yang mereka bicarakan, aku bisa merasakan keduanya begitu saling memiliki dan saling menyayangi hanya dengan melihat tatapan mata yang mereka tunjukkan satu sama lain. Kebersamaan mereka hingga mereka sekarang sudah berusia lanjut membuktikan betapa kuatnya rasa cinta yang mereka miliki bersama. Aku tiba-tiba jadi teringat dengan pasangan muda yang baru saja melangsungkan pernikahan di tepi pantai tadi dan berharap semoga mereka bisa menjadi pasangan yang berbahagia seumur hidup seperti pasangan kakek dan nenek ini.

☼ Pirates Bay – 17:30 WITA

Pirates Bay1

Setelah puas menghabiskan waktu di tempat yang begitu tenang ini aku pun memutuskan untuk kembali sebelum hari menjelang malam. Namun di tengah-tengah perjalanan, sesuatu menghentikan lajuku. Apa aku tidak salah lihat? Kenapa bisa ada kapal yang cukup besar terdampar di pantai ini? Bukankah kapal seharusnya berada di tengah lautan?

Aku pun buru-buru menghampiri kapal itu dan langsung dikagetkan dengan sekumpulan anak-anak kecil yang berlarian di sekitar kapal. Mereka mengenakan topi dan kain hitam yang menutupi sebelah mata mereka. Aku kemudian baru mengerti, ternyata kapal itu digunakan sebagai arena bermain dan berpetualang ala bajak laut bagi para anak-anak.

Tidak jauh dari kapal itu, aku juga melihat beberapa rumah pohon yang berdiri kokoh di sepanjang pantai. Beberapa anak-anak tampak dengan antusias menaiki rumah pohon itu tanpa rasa takut. Mereka terlihat begitu mencurahkan kegembiraan mereka tanpa harus merasakan beban apapun, dan hanya keceriaanlah yang terpancar dari wajah mereka.

Pirates Bay2

Aku begitu asyik memperhatikan anak-anak itu bermain hingga tidak menyadari ketika seorang anak perempuan datang menghampiriku. Ketika sudah berada di dekatku, anak itu menatapku sambil tersenyum lebar dan tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku pun langsung menghindar sebelum anak itu berhasil meraih sayapku. Aku berusaha terbang menjauh darinya, namun sepertinya anak itu masih penasaran denganku dan terus saja mengikuti ke manapun aku pergi. Aku jadi tidak tega melihatnya dan memutuskan untuk berbalik menghampirinya. Anak itu kemudian buru-buru membuka telapak tangannya ketika menyadari kalau aku mulai mendekatinya, dan tanpa ragu aku pun hinggap di telapak tangan mungilnya itu.

Anak perempuan itu tertawa gembira ketika melihat keindahan sayapku, ia berusaha memegangku dengan begitu hati-hati karena takut akan menyakitiku. Setelah puas beberapa saat mengamatiku dengan mata berbinar-binar karena takjub, anak itu kemudian melepaskanku dan aku kembali terbang bebas di udara.

Kini sore sudah menjelang malam, jadi sudah saatnya aku kembali pulang ke habitatku. Aku pun terbang semakin tinggi meninggalkan tempat nan indah ini yang sekarang semakin lama semakin jauh dari pandanganku.

The Bay Bali2

Hari ini sudah cukup banyak tempat yang aku singgahi, sedikit melelahkan memang, tapi aku tidak menyesal karena telah menyaksikan begitu banyak ragam peristiwa yang bisa membuat manusia merasakan kebahagiaan.

Manusia akan merasa bahagia ketika mereka menemukan pasangan setia yang saling menghargai dan juga saling melengkapi hidup mereka seperti yang dialami oleh pasangan muda yang baru saja menikah tadi. Manusia akan merasa bahagia ketika mereka bisa berkumpul bersama para teman dan sahabat yang membuat hari-hari mereka menjadi lebih cerah seperti gadis yang merayakan ulang tahunnya tadi. Manusia akan merasa bahagia meskipun mereka hanya bercengkrama diselingi obrolan-obrolan santai berdua saja seperti sepasang kakek dan nenek tadi. Manusia juga akan merasa bahagia ketika mereka melakukan petualangan seru seperti sekumpulan anak-anak kecil yang sedang bermain di sekitar kapal tadi. Dan manusia bahkan juga bisa merasa bahagia meskipun hanya dengan melihat keindahan sayapku seperti apa yang dirasakan oleh anak perempuan tadi.

Aku sekarang jadi mengerti, bahwa hal sesederhana apapun yang terjadi di dunia ini bisa membuat seorang manusia merasa bahagia asalkan orang itu tahu bagaimana menikmati rasa kebahagiaan itu.

Lalu, bagaimana denganku? Yah, aku hanyalah seekor kupu-kupu mungil yang sangat suka berpetualang, jadi hanya dengan bisa terbang bebas menjelajahi tempat-tempat indah seperti yang aku alami hari ini sudah merupakan kebahagiaan yang sangat berarti bagiku.

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

Inspirasiku Datang di Saat Hujan

59ba5df8f703fd81300d63fe8250c452

Aku tersenyum di depan jendela kamarku sambil menatap langit yang lambat laun berubah menjadi gelap tanda hujan akan turun ke bumi.

Ya, akhir-akhir ini aku selalu menantikan datangnya hujan, karena entah mengapa inspirasiku dalam menulis lirik lagu selalu saja muncul di saat hujan.

Sudah begitu banyak lirik lagu yang berhasil aku ciptakan selama hujan mengguyur bumi, entah itu lagu tentang kasih sayang, lagu tentang kesabaran, lagu tentang persahabatan, dan begitu banyak lirik-lirik lagu lainnya yang kutulis dengan kalimat-kalimat indah yang kuharap dapat menyejukkan telinga orang-orang yang mendengarkannya.

Gitar, secarik kertas dan pensil kini sudah bersiap sedia di hadapanku. Dan sekarang aku tinggal menunggu inspirasiku muncul dengan sendirinya bersamaan dengan hujan yang saat ini sudah mulai deras membasahi bumi.

Aku terus menanti datangnya inspirasiku sambil menatap keluar melalui jendela kamar yang memang berhadapan langsung dengan jalan raya. Jalanan itu tidak terlalu besar namun tampak ramai dengan orang yang lalu lalang di sekitarnya.

Oh, gadis itu datang lagi.

Senyumanku semakin lebar ketika melihat seorang gadis manis dengan rambut panjang sedang berdiri di halte kecil yang terletak di seberang rumahku.

Aku tidak mengenal siapa gadis itu. Tapi aku tahu kalau ia pasti akan muncul di saat hujan seperti sekarang ini. Dan yang ada di tangannya selalu benda yang sama. Payung berwarna merah, yang khusus ia bawa untuk menjemput ibunya sehabis pulang bekerja.

Ya, setiap sore di waktu hujan, gadis berpayung merah itu dengan setia menunggu ibunya turun dari kendaraan umum dan setelah itu mereka akan pulang ke rumah mereka.

Begitulah yang gadis itu lakukan setiap hari di musim hujan, begitu pulalah yang ia lakukan saat ini.

Aku kemudian mengalihkan pandanganku ke tempat lain untuk mencari inspirasiku dalam membuat lirik lagu. Tapi lagi-lagi pandanganku selalu saja kembali terarah ke gadis itu.

Seperti biasanya wajah gadis itu tampak tersenyum, seakan tugas untuk menjemput ibunya adalah tugas yang paling ia sukai di dunia ini. Tak sedikit pun raut wajah kesal terpancar di wajahnya meskipun terkadang ibunya terlambat datang dan ia harus menunggu bermenit-menit lamanya di halte itu.

Ia juga tidak pernah sungkan untuk membalas sapaan orang-orang tak dikenal yang sama-sama sedang berteduh di halte itu, sehingga membuatku semakin bisa merasakan kebaikan hatinya.

Saat ini pun ia tampak sedang berbincang-bincang dengan seorang nenek tua yang terlihat kebingungan. Dan langsung saja aku tahu apa yang membuat nenek itu bingung.

Nenek tua itu tidak membawa payung, dan gadis manis itu dengan sukarela memberikan payung merahnya kepada sang nenek yang akhirnya bisa pulang dengan wajah lega.

Aku terkesima dengan perbuatan gadis itu. Saat ini hujan sudah turun semakin lebat, dan sepertinya akan berlangsung cukup lama. Lalu bagaimana dengan gadis itu, dan juga ibunya nanti akan pulang ke rumah tanpa payung merah mereka?

Melihat kejadian barusan tiba-tiba saja aku mendapat inspirasi untuk lirik lagu baruku. Keihlasan. Ya, aku akan membuat lagu tentang keikhlasan. Keikhlasan yang diperlihatkan oleh gadis itu yang dengan sukarela mengorbankan kepentingannya demi seorang nenek tua yang sama sekali tidak ia kenal.

Namun baru saja aku hendak menulis lirik pertama di selembar kertas, tiba-tiba saja pikiranku seakan ditarik kembali ke beberapa hari yang lalu.

Waktu itu hari juga sedang diguyur hujan. Dan saat itu aku juga sedang memperhatikan gadis berpayung merah itu berdiri di halte dengan wajah sabar sambil menunggu ibunya. Dan saat itu jugalah aku menemukan inspirasi untuk menulis lirik laguku. Lagu itu bertema tentang kesabaran.

Beberapa hari sebelumnya, juga di saat hujan, aku melihat gadis itu sedang menunggu ibunya sambil sesekali bercengkrama dengan orang-orang di sekitarnya. Dan saat itu pula aku menemukan inspirasi untuk menulis lagu baruku yang bertema tentang persahabatan.

Dan minggu lalu, ketika hari diguyur hujan lebat, aku melihat gadis itu tanpa lelah sedang menunggu ibunya yang terlambat datang berjam-jam lamanya. Dan saat itu jugalah aku menemukan inspirasi laguku yang bertemakan tentang kasih sayang.

Sekarang aku sadar. Bukan hujanlah yang selama ini membuatku menemukan inspirasi dalam menulis lirik-lirik lagu ciptaanku. Tapi karena gadis berpayung merah itu.

Karena melihat kebaikan hati, kepatuhan dan keramahan gadis itulah berbagai kalimat indah bermunculan dengan lancar di pikiranku yang akhirnya menghasil lirik-lirik lagu yang membuat sejuk telinga orang-orang yang mendengarkannya.

Dan akhirnya aku pun mengerti, kenapa inspirasiku untuk menulis lirik lagu tidak datang jika tidak ada hujan. Kalau hujan tidak turun, gadis itu tidak akan muncul membawakan payung untuk ibunya. Dan ketika aku tidak melihat kehadiran gadis itu maka aku pun tidak mendapatkan inspirasi untuk menulis lagu.

Tanpa berpikir dua kali aku kemudian beranjak dari dudukku. Gitar, secarik kertas dan pensil aku tinggalkan begitu saja di depan jendela kamarku.

Aku lalu meraih payung dan bergegas keluar rumah untuk menghampiri halte di depan rumahku.

Gadis itu masih di sana. Tetap setia menunggu kehadiran ibunya. Dari jauh aku bisa melihat ada sedikit kebimbangan di wajahnya. Tentu saja ia bimbang, karena payung merah yang biasanya menjadi pelindungnya dan ibunya dari guyuran hujan, kini tidak berada di tangannya.

Sesampai di halte, aku langsung menghampirinya. Dilihat dari sedekat ini paras gadis itu tenyata jauh lebih mempesona. Matanya teduh, dan senyuman ramah selalu terpancar di wajahnya yang juga terlihat ramah.

“Namaku Bimo,” ujarku sambil mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh gadis itu. “Aku tinggal di seberang halte,” tambahku sambil menunjuk ke jendela rumahku, tempat aku biasa memperhatikan tindak tanduk gadis yang sekarang berada di hadapanku ini.

“Aku Vira,” suara lembutnya menghiasi telingaku. Jabatan tangannya yang terasa erat seakan menyatakan kalau perkenalan ini tidaklah bersifat sementara.

“Pakai ini,” aku menyodorkan payungku. “Kamu dan ibumu pasti akan memerlukan payung ini untuk pulang ke rumah.”

Senyuman di bibir gadis itu semakih merekah, dan ada kelegaan yang terpancar di wajahnya. “Terima kasih,” ujarnya sambil menggapai payung itu dari tanganku. “Besok pasti aku kembalikan.”

Aku mengangguk mendengar ucapan gadis itu, lalu kembali ke rumah setelah berpamitan padanya.

Saat ini aku sudah kembali duduk di depan jendela kamarku. Gitar, secarik kertas dan pensil sudah kembali berada di hadapanku, karena aku sudah siap untuk menuliskan lirik untuk lagu baruku, lagu tentang keikhlasan.

Namun sebelum rangkaian kata-kata membanjiri pikiranku, aku menyempatkan diri untuk membuka jendela kamar dan melambai ke arah gadis itu. Dan dengan senyuman ceria ia pun membalas lambaian tanganku.

Sekarang aku tidak perlu lagi menunggu datangnya hujan untuk mendapatkan inspirasi dalam menulis lirik-lirik lagu. Karena sumber inspirasiku saat ini sedang tersenyum cerah padaku.

March, 19th 2011
Written by: chasingtheturtle

Another story for Nulisbuku charity project called Kisah Hujan (*^^*)

Picture Credit: KJ Carr

Semua Bertambah Dewasa Termasuk Kamu, PETER PAN!

Wendy tidak akan pernah melupakan peristiwa ketika Ia pertama kali bertemu dengan Peter Pan di kamarnya duapuluh tahun yang lalu.

Ya, sudah dua puluh tahun berlalu sejak seorang anak laki-laki dengan baju hijau dan topi berhias bulu  tiba-tiba saja masuk menerobos melalui jendela kamarnya untuk mengejar bayang-bayangnya sendiri.

Sekarang Wendy sudah beranjak dewasa. Ia sudah berumur 32 tahun, dan sudah memiliki keluarganya sendiri, seorang suami yang penyayang dan dua orang anak laki-laki yang menggemaskan.

Meskipun waktu telah berlalu bertahun-tahun dan begitu banyak peristiwa telah terjadi dalam hidupnya, namun setiap tahun Wendy selalu menyempatkan diri untuk mengenang peristiwa itu dengan mengunjungi rumah orang tuanya tempat Ia bertemu dengan Peter Pan. Dan hari ini Iapun melakukan hal yang sama.  

Wendy membuka jendela kamar lebar-lebar sambil tersenyum. Ada sedikit harapan dalam dirinya untuk bertemu kembali dengan Peter Pan meskipun hanya untuk saling menyapa. Ia begitu merindukan Peter Pan dan para kawanannya, The Lost Boys.

Dan yang terpenting Ia juga sangat merindukan petualangan-petualangan hebatnya yang dulu Ia lakukan dengan Peter Pan di pulau kecil bernama Neverland. Namun Ia sadar, petualangan itu tidak akan pernah Ia alami lagi. Karena Ia tidak akan pernah bertemu dengan Peter Pan untuk selamanya.

Setelah beberapa lama berdiri di depan jendela, entah mengapa tiba-tiba matanya terasa berat. Ia mengantuk. Apakah mungkin ini karena hembusan angin sepoi-sepoi yang dari tadi tak henti-henti menyapu wajahnya? Entahlah. Wendy pun kemudian memutuskan untuk merebahkan diri di tempat tidur untuk sejenak memejamkan matanya.

Namun baru dua menit Ia terlelap, Wendy merasa ada suara-suara yang menganggunya.

Tok. Tok. Tok. Kemudian senyap. Tok.Tok.Tok. Bunyi itu terdengar kembali.

Wendy membuka matanya. Ia kemudian mencari arah suara itu yang ternyata terdengar dari arah jendela kamarnya. Jendela itu bergoyang-goyang karena hembusan angin yang mulai membesar.

Iapun kemudian menghampiri jendela kamar untuk menutupnya. Namun ketika hendak menutup jendela, begitu terkejutnya Ia ketika mendapati sesosok laki-laki sedang melayang di depan jendela kamarnya.

Lelaki itu menggunakan baju berwarna hijau lengkap dengan topi berhiaskan bulu. Ia sedang tersenyum lebar seakan ingin memamerkan sederetan giginya yang putih. Matanya berwarna biru terang dan rambut pendeknya berwarna merah menyala.

Sesosok mahluk mungil terlihat sedang duduk santai di bahu lelaki itu.

“Peter Pan!” Wendy memekik kuat-kuat.

“Apa kabar, Wendy Darling? Kamu sama sekali tidak berubah.” Masih dengan gayanya yang cuek Peter Pan menerobos masuk ke kamar Wendy.

“Kamu juga tidak berubah…” Namun Wendy terlihat ragu dengan perkataanya. Sosok Di depannya ini memang masih bermata biru dan berambut merah, namun kali ini Ia berwujud seorang pria dewasa, bukan lagi seorang anak laki-laki yang dulu Ia temui dua puluh tahun lalu.

“Aku kira kamu tidak akan tumbuh dewasa, Peter Pan.” Wendy tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Memang tidak.” Ujar Peter Pan sambil berputar mengelilingi Wendy, memperhatikan dengan seksama segala perubahan yang terjadi di tubuh Wendy dewasa.  “Aku masih anak laki-laki yang kamu kenal seperti dulu.”

“Kamu sudah bukan anak laki-laki lagi Peter Pan. Apa kamu tidak punya cermin di rumahmu?!” Wendy mengingatkan. Tinkerbell si peri kecil yang masih bertengger di bahu Peter Pan mengangguk kuat-kuat seakan setuju dengan perkataan Wendy.

Peter Pan hanya mengangkat bahunya dengan acuh. “Aku tidak akan menjadi dewasa. Kamu tahu itu.”

“Apa maksudmu tidak akan beranjak dewasa? Lihat saja dirimu, kamu bukan anak-anak lagi! Kamu seorang pria dewasa, dan pria dewasa tidak sembarangan masuk ke kamar wanita … HEI!”

Wendy berteriak ketika tanpa berbasa-basi Peter Pan tiba-tiba saja menarik tangan Wendy dan sedetik kemudian mereka sudah melayang di angkasa.

“Aku datang jauh-jauh bukan untuk kamu omeli.” Peter Pan tersenyum nakal. “Aku ke sini untuk mengajakmu kembali ke Neverland. Semua merindukanmu, Wendy.”  

Wendy hanya bisa menutup mata dan berdoa atas keselematannya selama Peter Pan membawanya terbang menyusuri awan. Ternyata terbang di saat dewasa seperti sekarang ini sama sekali tidak semenyenangkan ketika Ia masih gadis kecil dulu.

“Kita sudah sampai!” Peter Pan mendaratkan Wendy di tanah. Wendy pun membuka mata dan mendapati Neverland ternyata masih sama seperti yang dulu, tetap mempesona dengan panorama alamnya yang indah, namun juga tampak berbahaya karena berbagai macam binatang liar berkeliaran di sana.

Peter Pan tidak terlalu lama membiarkan Wendy terpaku dengan keindahan Neverland dan langsung mengajak wanita itu ke rumahnya.

“Selamat Datang kembali, Wendy Darling!!!” Wendy langsung disambut secara antusias oleh para anggota The Lost Boys. “Kami semua merindukanmu!!”

Wendy menatap semua anggota The Lost Boys satu persatu, ada Tootles, Nibs, Slightly, Curly dan tak ketinggalan The Twins.

Mereka semua juga sudah berubah. Masing-masing sudah menjadi pria dewasa, namun masih memperlihatkan ekspresi anak-anak dengan senyuman nakal mereka.

Rumah pohon mereka sekarang jadi tampak amat sempit dengan banyaknya orang dewasa yang berdiri berdempetan di dalamnya.

“Aku juga merindukan kalian…Hei! Berhenti!” Spontan Wendy terlonjak ketika para anggota The Lost Boys hendak memeluknya.

Dulu, ketika masih anak-anak mereka memang terbiasa saling berpelukan. Tapi sekarang mereka sudah dewasa, dan tentu saja Wendy merasa risih dipeluk beramai-ramai oleh para pria dewasa ini.

“Lihat kan? Tidak ada diantara kita yang berubah.” Peter Pan kembali tersenyum lebar. “Kita masih seperti yang dulu.”

“Tapi kalian sekarang sudah dewasa, tentu saja kalian berubah” Ujar Wendy pelan. Matanya kemudian mengamati kelakuan para anggota The Lost Boys yang memang masih tampak seperti anak-anak pada umumnya.

Saat ini Nibs sedang mengejar Tootles yang menjahilinya, sedangkan Slightly, Curly dan The Twins tampak sedang berkelahi memperebutkan makanan persis seperti anak-anak.

Wendy menggelengkan kepalanya melihat kelakuan para pria yang seharusnya berkelakuan seperti orang dewasa itu. Seharusnya mereka tidak lagi saling menjahili dan tentu saja harus saling mengalah dan berbagi, apalagi dalam hal makanan!

“Apakah kamu tidak pernah mengajarkan kepada mereka bagaimana seharusnya orang dewasa bertindak Peter Pan?” Wendy kembali mengomel sambil berkacak pinggang. “Lihat kelakuan mereka!”

Tingker Bell mengangguk setuju dengan ucapan Wendy. Selama ini si peri kecil ternyata juga sudah berusaha membuat Peter Pan dan kawan-kawannya bersikap seperti orang dewasa, tetapi tidak pernah berhasil.

“Untuk apa repot-repot mengajari mereka?” Peter Pan ikut berkacak pinggang. “Kita semua akan terus menjadi anak-anak…Untuk selamanya!” Bentak Peter Pan.

“Kamu sudah dewasa Peter Pan! Ulang Wendy untuk yang keseratus kalinya. “Jangan keras kepala seperti anak kecil!”

“Aku memang masih anak-anak!” Bentak Peter Pan juga untuk yang keseratus kalinya. “Memang apa yang membuatmu berpikiran kalau aku sudah dewasa?”

Wendy melotot mendengar ucapan Peter Pan. Iapun kemudian sibuk mencari cermin, agak Peter Pan bisa bercermin dan  melihat seperti apa wajah dan wujud pria dewasa itu sekarang.

Namun belum sempat Wendy menemukan cermin tiba-tiba saja terdengar suara letusan yang dahsyat dari luar rumah pohon itu.

Peter Pan, Wendy, serta para anggota The Lost Boys  berhamburan keluar rumah. Dan Wendy sangat terkejut ketika melihat sosok Kapten Hook yang saat ini sudah tua renta, dengan gigi ompong dan rambut ubanannya sedang berada di atas kapalnya sambil mengarahkan meriam ke rumah Peter Pan.

“HA…HA…HA! Menyerahlah Peter Pan! Kali ini aku pasti akan berhasil mengusirmu dari pulau ini!!!!” Suara tawa Kapten Hook membahana ke segala penjuru Neverland.

“ASTAGA!” Wendy memekik kuat-kuat hingga membungkam tawa Kapten Hook. “Sampai sekarangpun kalian masih terus berkelahi??!! Setelah puluhan tahun berlalu kalian masih saja tidak mau saling mengalah?!”

“Siapa dia?” Kapten Hook bertanya bingung pada Peter Pan.

“Wendy Darling.” Ujar Peter Pan santai. “Kamu sudah bertemu dengannya dulu.”

“Oh ya! Aku ingat! Kamu gadis kecil yang bekerja sama dengan anak kurang ajar ini untuk melawan aku! Apakah kamu kembali kemari untuk berkelahi lagi denganku?”

“Aku? Berkelahi denganmu?!” Pekik Wendy. “Oke, cukup sudah!” Wendy akhirnya kehabisan kesabaran. “Kalian semua, ayo kumpul di sini!” Perintah Wendy.

“Untuk apa kami mengikuti perintahmu, Wen…” Namun ucapan Peter Pan terhenti ketika melihat Wendy membelalakkan mata ke arahnya. “Ayo teman-teman kita berkumpul, kamu juga Kapten Hook!”

“Aku juga?” Kapten Hook menunjuk hidungnya sendiri. Dan seketika langsung ikut berkumpul ketika Wendy juga membelalakkan mata ke arahnya.

“Dengarkan aku!” Ujar Wendy ketika semua sudah berkumpul di depannya. “Kita semua sudah beranjak dewasa, sudah bukan anak-anak lagi. Jadi mulai sekarang bersikaplah seperti orang dewasa!”

“Bersikap seperti orang dewasa?” Tanya Nibs bingung.

“Ya benar! Kalian mulai sekarang tidak boleh lagi saling menjahili, tidak boleh saling rebutan makanan, tidak boleh keras kepala, apalagi sampai terus menyimpan dendam dan selalu saja berkelahi seperti kalian berdua!” Wendy menunjuk ke arah Peter Pan dan Kapten Hook.

“Lalu apa yang harus kami lakukan, Wendy?” Ujar mereka serempak.

“Mulailah belajar untuk saling menghargai, saling berbagi dan saling mengalah, dengan begitu kalian akan benar-benar menjadi pria dewasa, sesuai dengan wujud kalian saat ini.”

“Baiklah Wendy, kami akan mencobanya.” Ujar para anggota The Lost Boys dan Kapten Hook.

Wendy mengangguk senang mendengar perkataan mereka. Namun keningnya berkerut ketika menyadari kalau Peter Pan tidak bereaksi apa-apa.

“Bagaimana denganmu, Peter Pan?”

Namun bukannya menjawab, Peter Pan malah tertawa lebar. Dan tiba-tiba saja Ia menarik tangan Wendy dan kembali membawanya terbang ke angkasa.

“Bagaimana kalau aku tidak mau, Wendy? Bagaimana kalau aku masih tetap ingin bersikap seperti anak-anak, meskipun aku sudah dewasa?” Peter Pan terbang dengan kekuatan penuh mengelilingi langit Neverland.

“Bukankah di dunia ini bukan aku saja yang bersikap seperti anak-anak? Bukankah masih banyak orang dewasa yang selalu saja mau menang sendiri dan tidak mau mengalah sehingga terkadang banyak kekacauan yang terjadi di dunia ini?” Ujar Peter Pan sambil membawa Wendy melewati Jolly Roger, kapal laut besar milik Kapten Hook dan membuat para bajak laut di dalamnya melongo.

“Kamu harus mau berubah Peter Pan, kamu harus berbeda dengan orang-orang dewasa seperti yang kamu katakan barusan. Kamu harus berusaha menjadi orang dewasa yang nantinya akan memberikan kedamaian kepada keluargamu, seperti apa yang sedang aku lakukan dengan keluargaku saat ini.” Ujar Wendy sambil memperhatikan para putri duyung yang sedang berjemur di tepi danau.

“Keluarga?” Ujar Peter Pan akhirnya.

“Ya, keluarga!” Ujar Wendy setengah berteriak. “Suatu saat nanti kamu pasti akan berkeluarga. Maka  kalaupun kamu memang tidak mau berubah demi dirimu, setidaknya berubahlah menjadi dewasa demi keluarga dan orang-orang terdekatmu, dengan begitu kamu akan bisa merasakan betapa pentingnya bersikap dewasa.”

“Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa?” Peter Pan semakin memperkencang laju terbangnya, dan membuat Wendy mempererat pegangannya di bahu Peter Pan.

“Yang penting kamu mau mencobanya!” Jantung Wendy berdebar ketika Peter Pan membawanya terbang dengan kencang menembus angin. “Karena setiap orang di dunia ini pasti bisa tumbuh dewasa, termasuk juga kamu Peter Paaannnnn!!!!

Wendy berteriak sekuat mungkin ketika Peter Pan melaju semakin kencang dan membuat keduanya menabrak tebing bebatuan dengan keras.

***

Wendy membuka kedua matanya. Ia menyadari saat ini sedang terbaring di tempat tidur. Sayup-sayup terdengar suara dari arah jendela kamarnya.

Tok…Tok…Tok…

Ternyata angin sedang bertiup cukup kencang sehingga membuat jendela kamarnya bergoyang-goyang membentur dinding.

Wendy buru-buru menutup jendela kamarnya. Dan betapa terkejutnya Ia ketika mendapati seorang pria dewasa dengan baju hijau dan topi berhiaskan bulu sedang melayang di depannya. Pria itu tersenyum. Namun kali ini bukan senyuman nakal yang diperlihatkan olehnya. Melainkan senyum berwibawa layaknya seorang pria dewasa pada umumnya.

Wendypun membalas senyuman pria itu. Ia tidak tahu apakah petualangan yang Ia rasakan barusan adalah mimpi atau memang benar-benar terjadi. Tapi ia tahu Peter Pan yang Ia kenal pastilah sekarang sudah berubah menjadi sosok dewasa. Karena Wendy yakin, semua orang pasti akan bertambah dewasa, termasuk Peter Pan.

292486-neverland

February, 20th 2011
Written by: chasingtheturtle

This is my first story for Nulisbuku charity project called Reconstruction of Fairytale (*^^*)

Pictures Credit: monografias, offclouds

My Dear Senior^^

CR98_001_0005_02EC

Benar-benar tiga hari pertama yang membosankan di SMU baruku ini. Maklumlah tahun ajaran baru, jadi belum ada yang kukenal, apalagi hanya aku satu-satunya yang masuk SMU ini dari SMPku dulu. Yah, apa boleh buat, kerjaku setiap jam istirahat hanya berdiri saja di balkon depan kelas. untungnya kelasku terletak di lantai dua, jadi setidaknya aku bisa melihat-lihat pemandangan dari balkon, meskipun pemandangan yang ada hanyalah para murid yang lalu lalang atau anak-anak cowok yang bermain bola di lapangan. Huh, benar-benar membosankan!

“Viny!!” Tiba-tiba ada suara yang sangat kukenal memanggilku. Dialah Wanda, kakakku yang memang satu sekolah denganku, sekaligus satu-satunya orang yang kukenal di sekolah ini.

“Hei, ngapain kamu sendirian di sini? Bengong aja!!! Gaul dong!!” Ejeknya.

“Huh!” Aku hanya mendengus tanpa memperdulikan kakakku.

“Gimana mau dapet temen kalo muka kamu cemberut begitu?”

“Biarin.” Balasku pendek.

“Eh, gimana? Udah dapet gebetan baru belum?”

Loh kok malah urusan cowok sih yang ditanya duluan? tanya pelajaran kek, guru kek, atau apa kek yang berhubungan dengan sekolah?!

“Enggak ah, masih kecil.” Aku menjawab dengan acuh.

“Eeehhhh ni anak, dari dulu kecil melulu, kapan gedenya?! Kalo gini terus gimana bisa dapet pacar!” Ledeknya.

Iya, ya…Waktu SMP dulu sudah banyak teman-temanku yang mulai taksir-taksiran, malah sudah ada yang berani pacaran, lain denganku yang selalu merasa terlalu kecil untuk naksir cowok, apalagi pacaran.

“Kenapa? belum ketemu yang ganteng ya?” Kakakku membuyarkan lamunanku.

“Belum kali.” Balasku.

“Sini, aku ajak ngeliat cowok ganteng.” Ujarnya sambil menarik tanganku.

“Aduhhh, mau ke mana sih kak?”

“Udah ikut aja cerewet!” Akupun terpaksa ikut dengannya.

“Liat tuh!” Ujar kakakku sambil menunjuk seorang cowok yang sedang bermain bola di lapangan. “Itu baru yang namanya cowok cakep.” Lanjutnya.

Sampai bengong aku melihatnya, cowok itu memang benar-benar keren. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih bersih, matanya yang tajam ditambah dengan rambut pendeknya yang agak berantakan membuat cowok itu semakin menarik.

“Namanya Tommy, dia adek kelasku, berarti kakak kelas kamu, gimana, cakep nggak?” Tanya kakakku yang hanya aku jawab dengan anggukan karena masih terbengong-bengong melihat cowok itu.”

“Tapi kayaknya percuma kalo kamu naksir sama dia.”

“Kenapa?” Tanyaku, “Banyak yang naksir?”

“Bukan banyak lagi, nggak keitung cewek-cewek yang naksir dia. Yang ngantri aja udah banyak, yah pokoknya saingannya segudang, apalagi buat kamu, anak kecil!!!” Ledeknya sambil menarik rambutku dan langsung lari meninggalkanku.

Sial, mentang-mentang cantik!!!!! Aku mengerutu dalam hati. Tapi memang kakakku itu sangat cantik, sudah putih, tinggi, rambut panjang, pinter lagi! Banyak sekali cowok-cowok yang datang ke rumah untuk ketemu dia, sampe ada yang bawa-bawa bunga segala, apalagi yang menelepon, pokoknya nggak keitung!!! Sedangkan aku? Palingan cowok yang telepon cuma mau nanyain PR, itupun jarang. Apalagi yang datang ke rumah, mana ada!!!  Ah, sudahlah! Ngapain sih mikirin begituan, apalagi mikirin Tommy, mendingan aku balik aja ke kelas, siapa tau bisa dapet temen baru dan bisa ngelupain Tommy.

Tapi ternyata hampir semua cewek di kelasku sedang membicarakan sang idola itu, huh! Kalau begini sih bukannya lupa malah bisa-bisa keinget terus sampai kebawa mimpi. Masak sih dari sekian banyak cowok cakep di sekolah ini tapi cuma si Tommy aja yang diomongin? Bosan!!

***

Bel pulang sekolah berbunyi dengan sangat keras, yah lumayanlah buat ngebangunin anak-anak yang lagi terkantuk-kantuk di kelas mendengarkan pelajaran. Loh, tapi ini kan baru jam sebelas, kok sudah bel? Apa karena ada rapat guru makanya kita-kita dipulangin lebih awal? Waduh Gawat! Kalau pulang cepet begini biasanya kakakku pasti ngelayap entah ke mana sama temen-temennya, mana mau dia pulang bareng aku?! Kalau begini sih alamat aku harus telepon ke rumah minta jemput sama abangku, maklumlah abangku itu sekarang kesibukannya cuma bikin skripsi, jadinya bisa aku manfaatin buat jadi supir pribadi hi…hi…hi…Sebenarnya sih aku nggak masalah kalo nggak dijemput, cuma aku paling takut sama yang namanya nyebrang jalan, abisan dulu aku pernah di tabrak vespa sih waktu lagi nyebrang jalan, jadi trauma deh!!

Aku pun bergegas mencari telepon umum…Telepon umum? Yah maklumlah di sekolahku ini dilarang bawa HP, soalnya guru-guru takut kalau bunyi HP akan mengganggu pelajaran.

Waduh, tapi kok banyak banget yang lagi ngantri di telepon umum? Kalo begini sih mendingan peraturan larangan bawa HP direvisi lagi dari pada kita harus ngantri-ngantri segala kayak gini! Omelku dalam hati sambil ikut mengantri entah di urutan keberapa.

Fiuuuhh…Akhirnya tiba juga giliranku. Namun baru saja aku mau meraih gagang telepon tiba-tiba cowok tinggi itu menyerobotku.

“Ma’af mbak, penting.” Ujarnya sambil menggeserku.

Enak aja! Memangnya siapa dia? Pake panggil mbak segala lagi!

“Heh, lo tau budaya ngantri nggak sih?” bentakku sambil meraih gagang telepon. Tapi sialnya cowok itu juga meraih gagang telepon itu sehingga kami mulai tarik-tarikan. Kalau saja gagang telepon itu hidup dia pasti sudah menjerit kesakitan.

“Eh, pelit amat sih lo, gue cuma mau pake sebentar kok!” Ujarnya masih sambil menarik gagang telepon itu.

“Nggak bisa, kan gue yang duluan tadi!” Balasku tak kalah kuat menarik gagang telepon itu.

Setelah sekian lama saling tarik-menarik habis sudah kesabaranku, langsung saja aku injak kakinya sekuat tenaga.

“ADUHHH…Sakit dong!!!” Teriaknya sambil memegang ujung sepatunya.

Melihat dia melepaskan gagang telepon langsung saja aku buru-buru memasukkan kartu telepon dan menekan nomer telepon rumahku. Huh biar tau rasa dia, ejekku dalam hati. Setelah selesai menelepon tanpa basa-basi aku langsung meninggalkan tempat itu, aku hanya mendengar cowok pirang itu menggerutu, “Kecil-kecil galak amat!” Huh, peduli amat, pikirku.

***

Sudah satu minggu berlalu dan si jangkung itu benar-benar sudah menjadi idola di sini, banyak sekali yang naksir dia, termasuk teman-temanku yang sudah mulai kukenal dekat. Kalau saja mereka tahu aku pernah menginjak kaki idola mereka bisa-bisa aku diinterogasi seharian.

“Hei Viny, kita ke kantin yuk!” Ujar Nina salah satu temanku.

“Oke.” Balasku sambil berlari mengejar Nina dan teman-temanku yang lain. Dan seperti biasa, selama perjalanan ke kantin teman-temanku terus saja membicarakan si jangkung tukang serobot itu, kalau saja ada selotip mungkin sudah kutempelkan ke mulut mereka masing-masing.

Sampai di kantin tiba-tiba saja Nina berbisik, “Eh Girls, itu Tommy sama temen-temennya lagi jalan ke arah sini!”

Langsung saja semua teman-temanku memasang senyum termanis mereka, sedangkan aku hanya membuang muka.

Namun ketika rombongan kita berpapasan, tiba-tiba saja Tommy berhenti dan berteriak, “Eh, ini dia nih, cewek yang waktu itu nginjek kaki gue!!!”

Ups…Ternyata Tommy masih inget dengan injakanku waktu itu, akupun bersiap-siap lari, takut kalau-kalau Tommy balas menginjak kakiku. Tapi entah kenapa sepertinya kakiku tertancap di tanah. Semua temanku bengong melihat kejadian ini.

Melihat aku diam saja Tommy pun mulai melanjutkan ucapannya, “Gila ni cewek, berani banget nginjek kaki gue.”

“Hah, masak sih, Tommy?” Tanya salah seorang temannya.

“Iya, kaki gue sampe biru diinjek sama dia! Kuat banget ni cewek tenaganya! Heh, dikasih makan apa sih lo di rumah, sampe kuat begitu?” Ejeknya diikuti tawa teman-temannya.

Berhubung dia adalah kakak kelasku, aku pun tidak berani membalas perkataannya, dan hanya menahan marah sambil mengepalkan tanganku.

“Atau jangan-jangan nyokap lo petinju ya, makanya lo bisa kuat kayak….”

Mendengar ia mulai membawa-bawa ibuku habis sudah semua kesabaranku, langsung saja kutinju pipi kanannya yang putih sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

Semua temanku dan juga teman-teman Tommy kaget melihat aksiku itu, Nina malah berteriak. Sama dengan mereka akupun juga ikut kaget melihat aksiku sendiri, akhirnya keluar juga jurus Taekwondo yang belum pernah sempat aku praktekkan itu. Pasti tinjuku itu keras sekali karena Tommy hampir saja terpelanting, untung salah satu temannya sempat menahannya. Saat itu juga aku langsung lari meninggalkan mereka, kalau tidak bisa-bisa aku dikeroyok sama teman-teman Tommy yang besar-besar itu.

Benar juga dugaanku, setelah peristiwa tadi siang banyak cewek yang memandangku dengan sinis, teman-temanku bahkan tidak ada yang mau berbicara denganku, mungkin mereka mengira aksiku tadi hanya untuk mencari sensasi atau untuk menarik perhatian Tommy, padahalkan itu semua murni untuk membela diri!

Pertama-tamanya sih aku cuek saja jika memang tidak ada temanku yang mau bicara denganku, sampai aku sadar kalau aku harus pulang sendiri karena teman-temanku nyuekin aku, sedangkan kak Wanda pergi entah ke mana. Waduh mana abangku sudah wanti-wanti kalo minggu ini dia nggak mau diganggu gara-gara mau sidang skripsi. ‘Jangan bikin gue dapet nilai B ya!’, teriak abangku setiap kali aku minta dianterin.

Oh…Ow…Kalau begini sih berarti aku benar-benar harus pulang sendirian, dan pulang sendiri sama saja dengan nyebrang jalan sendiri. Mungkin saja aku bisa merobohkan Tommy hanya dengan sekali pukul, tapi untuk urusan sebrang menyebrang jalan tunggu dulu deh! Tapi apa boleh buat, masak aku nggak pulang ke rumah gara-gara takut menyebrang sih?

Sudah hampir 30 menit aku berdiri di pinggir jalan, tapi aku masih takut untuk menyebrang, aku hanya sesekali maju tapi mundur kembali setiap ada mobil atau motor yang mau lewat, seperti orang bodoh saja. Huh, ini gara-gara si jangkung jelek itu, gara-gara dia temenku nggak ada yang mau nemenin aku pulang! Gerutuku dalam hati.

Belum hilang pikiranku tentang Tommy, namun tiba-tiba saja seseorang menarik tanganku dan membantuku menyebrang jalan. Kaget sekali ketika aku tahu bahwa Tommy yang sedang menarik tanganku,”Eh, mau ngapain lo?” Tanyaku bingung, namun Tommy hanya diam saja sambil sesekali mengangkat tangannya untuk menghentikan mobil.

Sampai di seberang dia langsung melepaskan tanganku, “Kalau nggak bisa nyebrang jangan pulang sendirian.” Ujarnya.

Belum sempat aku mengerti apa yang terjadi Tommy sudah menyebrang kembali meninggalkanku.

***

Sampai di rumah aku terus memikirkan Tommy, kok bisa-bisanya dia mau nolongin aku? Padahal sudah dua kali dia terkena jurus mautku. Apa dia cuma mau buat aku bingung seperti sekarang ini, atau dia…Lok kok aku jadi mikirin Tommy terus sih? Aku kan benci banget sama dia. Aku jadi inget sama perkataan kakakku, katanya kalau kita membenci seseorang suatu saat nanti kita bisa suka sama orang itu. Tapi aku sama sekali tidak setuju dengan perkataan kakakku itu, maksudku kalau sudah benci ya benci saja, kenapa jadi suka segala! Tapi sepertinya aku tetap harus berterima kasih sama Tommy, begini-begini aku ini orang yang tahu berterima kasih loh.

***

Keesokan harinya aku bertekad untuk menyatakan rasa terima kasihku ke Tommy di waktu istirahat. Saat itu Tommy sedang duduk sendirian di pojok kantin sambil menikmati bakso pesanannya. Fiuhh untung dia lagi sendirian, tengsin juga aku kalau harus berterima kasih di depan teman-temannya, bisa-bisa aku jadi bulan-bulanan mereka. Tanpa ragu langsung saja aku mendatangi Tommy.

“Terima kasih yang kemarin…” Ujarku dengan suara sesopan mungkin. Tapi Tommy diam saja tanpa menoleh sedikitpun. Sialan ni orang, budek apa?! Omelku dalam hati. Tapi…O..Ow…Sepertinya Tommy masih marah padaku ketika sekilas aku melihat pipi kanannya masih biru karena tinjuku. “Sorry…Pipi lo…Masih sakit ya? Apa kita perlu ke dokter?…Kalau pipi lo masih sakit… Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku tiba-tiba saja Tommy tertawa terbahak-bahak sampai membuatku terloncat.

“Ha…Ha…Ha…Kena lo gue kerjain!”

“Eh, elo nggak marah?” Tanyaku.

“Marah?” Ia balik bertanya. “Ngapain gue marah? Gue malah salut ada cewek yang berani nonjok gue, baru kali ini gue ditonjok sama cewek sampe biru begini!” Ujarnya sambil memegang pipinya.

“Ha…ha…” Aku hanya tertawa kecil.

“Oh iya, kenalin gue Tommy.” Ujarnya sambil menjulurkan tangannya.

Sudah tau kataku, dalam hati tentunya. “Gue Viny.” Ujarku sambil membalasan uluran tangannya.

“Nah Viny, sekarang kita udah saling kenal kan? Terus gimana kalau malam ini kita nonton berdua?” Ujarnya.

“Nonton gimana maksud lo?” Tanyaku bingung.

“Iya, nonton, N O N T O N.” Ejanya. “Tenang gue yang bayarin kok.”

Wah jangan-jangan dia bohong, pikirku. “Elo nggak lagi bohongin gue kan? Kita kan baru kenal.”

“Yah enggak lah, masak lo nggak percaya gue sih? Makanya karena kita baru kenal kita nonton berdua supaya kita lebih kenal lagi satu sama lain, oke? Kalau gitu nanti malam gue tunggu ya di bioskop jam tujuh, dateng yaaa!!” Ujar Tommy sambil meneguk minumannya dan pergi meninggalkanku yang masih terbengong-bengong.

Cowok terkeren di sekolah ini ngajak aku nonton berdua? Aku? Yang nggak ada apa-apanya ini? Aku nggak percaya, aku benar-benar nggak percaya!

***

Aku benar-benar nggak percaya, sampai sampai aku percaya bahwa si Jangkung itu telah ngerjain aku. Sudah dua jam aku menunggu di bioskop ini, sendirian. Aku tersenyum kecut, ternyata aku dibohongin, Tommy nggak bakal datang karena dia saat ini pasti sedang mentertawakan kebodohanku di rumahnya dengan puas. Si jangkung itu ternyata telah memilih cara paling jitu untuk membalas tinjuku. Oke, kataku dalam hati, ternyata dia benar-benar mau cari masalah denganku. Akupun buru-buru pulang, pikiranku sudah penuh dengan seribu macam siasat untuk membalasnya. Tunggu saja, aku sudah tidak sabar untuk membuat warna biru lagi di pipinya yang putih itu, kali ini pipi kirinya yang akan menjadi sasaran jurus mautku!

– The End –

Written by: chasingtheturtle

This is the first short story that I made when I was in high school^^

Picture Credit: doksongfineart